Self-Efficacy (Kemampuan Pengaturan Diri Individu)

1. Pengertian Self-Efficacy


Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu. Konsep self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Self-efficacy mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1986). Baron dan Byrne (2000) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Di samping itu, Schultz (1994) mendefinisikan self-efficacy sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan.

Mengacu kepada hal di atas, self-efficacy merupakan komponen kognitif yang penting untuk tetap coping dengan berbagai situasi (Schwarzer, Myeller, & Greenglass, dalam Liang & Tsai, 2008). Schwarzer dan Luszczynka (2009) menjelaskan bahwa self-efficacy merupakan prediktor langsung terhadap perilaku. Berdasarkan hal tersebut, self-efficacy pada seseorang menentukan bagaimana perilakunya terhadap situasi tertentu.

Berdasarkan persamaan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu mengenai kemampuan dirinya untuk untuk mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan sesuatu dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu.

2. Dimensi Self Efficacy

Bandura (1997) mengemukakan bahwa self-efficacy individu dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu :
a. Tingkat (level)
Self-efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki self-efficacy yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.

b. Keluasan (generality)
Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki self-efficacy pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan self-efficacy yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.

c. Kekuatan (strength)
Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Self-efficacy menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Self-efficacy menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.

3. Sumber-Sumber Self Efficacy

Bandura (1986) menjelaskan bahwa self-efficacy individu didasarkan pada empat hal, yaitu:
a. Pengalaman akan kesuksesan
Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besar pengaruhnya terhadap self-efficacy individu karena didasarkan pada pengalaman otentik. Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan self-efficacy individu meningkat, sementara kegagalan yang berulang mengakibatkan menurunnya selfefficacy, khususnya jika kegagalan terjadi ketika self-efficacy individu belum benar-benar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan self-efficacy individu jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh dari keadaan luar.

b. Pengalaman individu lain
Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber self-efficacy-nya. Self-efficacy juga dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan self-efficacy individu tersebut pada bidang yang sama. Individu melakukan persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan jika individu lain dapat melakukannya dengan sukses, maka individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk melakukanya dengan baik. Pengamatan individu terhadap kegagalan yang dialami individu lain meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha individu untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan yang memungkinkan self-efficacy individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya pemahaman individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman individu akan kemampuannya sendiri.

c. Persuasi verbal
Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih apa yang diinginkan.

d. Keadaan fisiologis
Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi yang dihadapinya berada di atas kemampuannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, self-efficacy bersumber pada pengalaman akan kesuksesan, pengalaman individu lain, persuasi verbal, dan keadaan fisiologis individu.

4. Proses-Proses Self Efficacy

Bandura (1997) menguraikan proses psikologis self-efficacy dalam mempengaruhi fungsi manusia. Proses tersebut dapat dijelaskan melalui cara-cara dibawah ini :
a. Proses kognitif
Dalam melakukan tugas akademiknya, individu menetapkan tujuan dan sasaran perilaku sehingga individu dapat merumuskan tindakan yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Penetapan sasaran pribadi tersebut dipengaruhi oleh penilaian individu akan kemampuan kognitifnya. Fungsi kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi kejadiankejadian sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif ini adalah semakin efektif kemampuan individu dalam analisis dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Individu akan meramalkan kejadian dan mengembangkan cara untuk mengontrol kejadian yang mempengaruhi hidupnya. Keahlian ini membutuhkan proses kognitif yang efektif dari berbagai macam informasi.

b. Proses motivasi
Motivasi individu timbul melalui pemikiran optimis dari dalam dirinya untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Individu berusaha memotivasi diri dengan menetapkan keyakinan pada tindakan yang akan dilakukan, merencanakan tindakan yang akan direalisasikan. Terdapat beberapa macam motivasi kognitif yang dibangun dari beberapa teori yaitu atribusi penyebab yang berasal dari teori atribusi dan pengharapan akan hasil yang terbentuk dari teori nilai-pengharapan. Fritson (2008) mengatakan bahwa self-efficacy memiliki korelasi yang positif dengan keinginan yang kuat untuk sukses dalam area yang berhubungan dengan life function. Dengan keinginan yang kuat maka self-efficacy juga akan meningkat.

Self-efficacy mempengaruhi atribusi penyebab. Hal ini dimaksudkan individu yang memiliki self-efficacy akademik yang tinggi menilai kegagalannya dalam mengerjakan tugas akademik disebabkan oleh kurangnya usaha, sedangkan individu dengan self-efficacy yang rendah menilai kegagalannya disebabkan oleh kurangnya kemampuan.

c. Proses afeksi
Afeksi terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam menentukan intensitas pengalaman emosional. Afeksi ditujukan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan.

Proses afeksi berkaitan dengan kemampuan mengatasi emosi yang timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kepercayaan individu terhadap kemampuannya mempengaruhi tingkat stres dan depresi yang dialami ketika menghadapi tugas yang sulit atau bersifat mengancam. Individu yang yakin dirinya mampu mengontrol ancaman tidak akan membangkitkan pola pikir yang mengganggu. Individu yang tidak percaya akan kemampuannya yang dimiliki akan mengalami kecemasan karena tidak mampu mengelola ancaman tersebut.

d. Proses seleksi
Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Ketidakmampuan individu dalam melakukan seleksi tingkah laku membuat individu tidak percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah atau situasi sulit. Self-efficacy dapat membentuk hidup individu melalui pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu akan mampu melaksanakan aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang diyakini mampu menangani. Individu akan memelihara kompetensi, minat, hubungan sosial atas pilihan yang ditentukan. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses self-efficacy meliputi proses kognitif yang memprediksi kejadian-kejadian yang berpengaruh dimasa depan, proses motivasi yang berguna untuk menetapkan keyakinan pada tindakan yang dilakukan, proses afeksi yang menentukan intensitas pengalaman emosional yang berguna untuk mengontrol kecemasan, dan proses seleksi yang bertujuan menyeleksi perilaku dan lingkungan yang tepat.

Refrensi :

  1. Bandura, Albert. (1982). Self Efficacy, Mechanism in Human Agency. APA.
  2. Bandura, Alber. (1986). Social foundations of thought and action: A social-cognitive theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
  3. Bandura, Alber. (1997). Self-efficacy: The Exercise of Control. New York: Freeman
  4. Fritson, Krista K. (2008). Impact of Journaling on Students’ Self-Efficacy and Locus of Control. University of Nebraska.
  5. Schwarzer, Ralf & Luszczynska, Aleksandra. (2009). Self-Efficacy and Health Behavior Theories. University of Sussex, UK.
  6. Liang, Jyh-Chong & Tsai, Chin-Chung. (2008). Internet Self-Efficacy and Preferences Toward Constructivist Internet-Based Learning Environment: Study of Pre-School Teachers in Taiwan. Educational Technology and Society, 11 (1).

Related Posts :