Terapi Realitas

1. Pengertian Terapi Realitas

Terapi realitas diperkenalkan oleh William Glasser pada tahun 1950-an. Terapi realitas merupakan suatu pendekatan yang dikembangkan sebagai reaksi melawan terapi konvensional. Terapi realitas adalah terapi yang bersifat jangka pendek yang berfokus pada kondisi saat ini, menekankan pada kekuatan pribadi, dan mendorong individu untuk mengembangkan tingkah laku yang lebih realistik agar dapat mencapai kesuksesan (Corey, 2009).

Glasser (dalam Latipun, 2008) mendasari pendekatan realitas dengan pandangannya yaitu bahwa setiap manusia memiliki dua kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis. Kebutuhan fisiologis yang dimaksud adalah sama dengan pandangan ahli lain, sedangkan kebutuhan psikologis manusia yang mendasar ada dua macam, yaitu : (1) kebutuhan dicintai dan mencintai, dan (2) kebutuhan akan penghargaan. Kedua kebutuhan psikologis itu bila digabungkan menjadi satu kebutuhan yang sangat utama yang disebut kebutuhan identitas (identity). Identitas merupakan cara seseorang melihat dirinya sendiri sebagai manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan dunia luarnya. Setiap orang mengembangkan gambaran identitasnya (identity image) berdasarkan atas pemenuhan kebutuhan psikologisnya. Individu yang berhasil menemukan kebutuhannya, yaitu terpenuhinya kebutuhan cinta dan penghargaan akan mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang berhasil dan membentuk identitasnya dengan success identity sebaliknya jika individu yang gagal menemukan kebutuhannya, akan mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang gagal dan membentuk identitasnya dengan identitas kegagalan (failure identity). Gambaran identitas ini dimiliki oleh setiap orang mulai dari usia lima tahun hingga dewasa. Berdasarkan segenap pengalaman-pengalamannya, individu akan memberikan gambaran terhadap dirinya sebagai orang yang berhasil atau gagal. Terapi realitas dalam hal ini berperan untuk membantu individu dalam mencapai success identity, dimana dalam terapi, terapis akan berfokus pada perilaku individu saat ini. Namun, terapi realitas berbeda dengan pendekatan behavioral yang berfokus pada stimulus respon. Terapi ini berpusat pada person yang melihat perilaku dalam konteks fenomenologis.

Berdasarkan pandangan-pandangan diatas, dapat dinyatakan bahwa terapi realitas adalah terapi yang bersifat jangka pendek. Terapis pada terapi realitas menekankan pada kekuatan pribadi yang dimiliki oleh individu. Terapi realitas berfokus pada perilaku individu saat ini dan membuka jalan kepada individu untuk menampilkan perilaku yang dapat membawa individu ke keberhasilan dan pada akhirnya memunculkan success identity di dalam diri individu.

2. Tahap-tahap atau Prosedur Terapi Realitas

Glasser dan Wubbolding (dalam Corey, 1996) menyebutkan bahwa prosedur terapi realitas dapat dilakukan dengan langkah WDEP, yaitu wants, direction and doing, evaluation, dan planning. Berikut ini adalah penjelasan dari langkah WDEP :

1) Wants 

Wants merupakan suatu tahapan dimana terapis melakukan eksplorasi terhadap harapan, kebutuhan dan persepsi dari individu. Terapis dapat bertanya, “Apa yang anda inginkan?”. Melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terapis, seorang individu diharapkan dapat memahami apakah harapan-harapan mereka sejalan dengan kebutuhan mereka saat ini. Terapis pada tahapan ini harus bersifat hangat dan menerima sehingga memungkinkan konseli untuk menjabarkan setiap hal yang ia inginkan baik dalam keluarga, pertemanan, ataupun pekerjaan. Beberapa pertanyaan yang dapat digunakan pada sesi ini adalah : “Jika anda sudah menjadi sosok impian anda, bagaimanakah sosok itu?” “Bagaimana reaksi keluarga anda jika keinginan mereka dan keinginan anda sejalan?” “Apakah anda ingin berubah?” “Menurut anda, apa yang membuat anda tidak dapat berubah?”

2) Direction and Doing 

Terapis realitas menekankan pada perilaku saat ini dan bukan pada masa lalu. Oleh karenanya, seorang terapis realitas biasanya sering bertanya, “Apa yang anda lakukan saat ini?” Meskipun suatu masalah bisa berakar dari pengalaman masa lalu, namun individu perlu belajar bagaimana cara berdamai dengan masa lalunya dan menunjukkan perilaku yang lebih baik untuk mencapai keinginannya. Kondisi masa lalu individu boleh saja didiskusikan apabila hal itu memang dapat membantu individu menyusun perencanaan hidup yang lebih baik.

Pada sesi ini, terapis mendiskusikan dengan individu mengenai apa saja tujuan hidup mereka, apa yang akan mereka lakukan, dan kemana hidup mereka akan berjalan dengan perilaku yang mereka tunjukkan saat ini. Seorang terapis dapat bertanya, “Apa yang anda lihat pada diri anda saat ini? Bagaimana masa depan anda?”.

3) Evaluation

Inti dari terapis realitas adalah untuk membantu individu mengevaluasi perilakunya. Terapis dapat bertanya, “Apakah perilaku anda saat ini cukup rasional untuk membawa anda ke keinginan anda? Apakah perilaku anda dapat mewujudkan apa yang menjadi keinginan anda?”.Terapis pada tahapan ini dapat mengkonfrontasi individu mengenai konsekuensi dari perilakunya.

4) Planning and Commitment

 Ketika individu sudah dapat menentukan apa yang mereka inginkan dan siap untuk diajak mengeksplorasi bentuk-bentuk perilaku yang dapat membawa mereka ke tujuan yang mereka inginkan, maka sudah waktunya terapis mengajak individu membuat rencana aksi. Wubbolding (dalam Corey, 1996) mengemukakan bahwa dalam membuat perencanaan perilaku, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :
  1. Pembuatan rencana perilaku harus memperhatikan kapasitas motivasi dan kemampuan dari setiap individu. Seorang konselor yang terlatih dapat membantu individu untuk membuat perencanaan yang memuaskan kehidupannya. Konselor misalnya dapat bertanya kepada individu, “rencana seperti apa yang harus anda buat agar anda lebih puas dengan hidup anda?”
  2. Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang sederhana dan mudah dimengerti. Perencanaan perilaku harus bersifat spesifik, konkrit, dapat diukur, dan harus fleksibel atau dapat diubah-ubah ketika individu sudah memahami perilaku apa yang sebenarnya ingin diubah.
  3. Perencanaan yang dibuat haruslah berdasarkan pada persetujuan individu.
  4. Konselor harus mendorong individu untuk membuat perencanaannya sendiri
  5. Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang bersifat repetitif dan dilakukan setiap hari
  6. Perencanaan harus dilakukan sesegera mungkin
  7. Perencanaan yang baik meliputi aktivitas yang bersifat process centered, misalnya : individu dapat memiliki rencana untuk melamar pekerjaan, menulis surat untuk teman, masuk klub yoga, makan makanan bergizi, dan berlibur
  8. Sebelum individu melakukan perencanaan, ada baiknya jika individu diminta untuk mengevaluasi perencanaan yang dibuat, apakah perencanaan tersebut sudah realistis.
  9. Untuk memastikan bahwa individu akan melaksanakan rencana yang sudah dibuat, maka individu harus membuat pernyataan secara tertulis.


Pelaksanaan terapi realitas pada penelitian ini akan diselenggarakan secara berkelompok. American Psychological Association (APA) dalam situsnya (www.apa.org) menuliskan bahwa terapi kelompok adalah terapi yang melibatkan satu atau dua orang terapis yang membawakan terapi untuk satu kelompok yang terdiri dari 5 hingga 15 orang individu yang memiliki permasalahan yang sama. Spitz dan Spitz (1999) menyebutkan bahwa terapi kelompok adalah terapi yang dibawakan oleh seorang profesional untuk sekelompok orang yang memiliki keinginan untuk menyelesaikan permasalahannya secara bersama-sama. Anggota kelompok adalah orang-orang yang memiliki permasalahan psikologis yang sama dan membutuhkan psikoterapi untuk menyelesaikan permasalahannya.

American Psychological Association (APA) dalam situsnya (www.apa.org) menuliskan bahwa terapi kelompok menawarkan keuntungan yang tidak didapatkan dalam terapi individual, yaitu adanya dukungan dari individu-individu yang senasib sehingga setiap anggota kelompok dapat menyadari bahwa ia bukan satu-satunya orang yang mengalami masalah. Selain itu, terapi kelompok juga memungkinkan anggota kelompok belajar dari pengalaman anggota kelompok lain yang berhasil mengatasi masalahnya dengan strategi tertentu. Berdasarkan prosedur terapi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa terapi realitas secara garis besar melalui empat tahapan yang disebut WDEP (wants, direction and doing, evaluation, dan planning and commitment). Saat memasuki tahapan planning and commitment, seorang terapi juga harus memperhatikan 9 hal (a - i) yang dikemukakan oleh Wubbolding (dalam Corey, 1996) agar individu dapat membuat suatu perencanaan yang relistis, spesifik, mudah dimengerti, dan dapat segera dilaksanakan. Adapun pelaksanaan terapi realitas yang akan diselenggarakan secara berkelompok dapat diartikan sebagai bentuk terapi realitas yang dibawakan oleh satu, dua, atau beberapa terapis. Anggota kelompok yang mengikuti terapi realitas berjumlah antara 5 – 15 orang, memiliki permasalahan psikologis yang sama, membutuhkan psikoterapi, dan bersedia mengikuti terapi kelompok (menyelesaikan permasalahannya bersama-sama dengan orang lain).

Referensi :
  1. Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (terjemahan). Bandung : PT Refika Aditama Corey, Gerald. 1996. Theory and Practice of Counseling and Psychoterapy 5th edition. USA : International Thomson Publishing Inc
  2. Latipun, 2008. Psikologi Konseling edisi ketiga. Malang : Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang