1. Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk
dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal hal ini
berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak
adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi
masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga
negara. Kemiskinan merupakan masalah global, sebagian orang memahami
istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya
dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainya lagi memahaminya dari sudut
ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk
merunjuk kepada negara-negara yang “miskin” (Criswardani Suryawati,2005:18).
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup :
1) Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan
sehari –hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan
dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan
pelayanan dasar. 2) Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilkan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmapuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat.
Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilkan sosial biasanya
dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik
dan moral , dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
3) Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai
makna”memadai” disini sangat berbeda-beda melintas bagian-bagian politik
dan ekonomi di seluruh dunia.
BAPPENAS (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) mendefinisikan
kemiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak
si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan
yang ada padanya. Kemiskinan ini ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang
menerima keadaan yang seakan-akan tidk dapat diubah yang tercermin di dalam
lemahnya kemauan tetap untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia,
lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya produktifitas, terbatasnya modal
yang dimiliki berpartisipasi dalam pembangunan.
Mengamati secara mendalam tentang kemiskinan dan penyebabnya akan muncul
berbagai tipologi dan dimensi kemiskinan karena kemiskinan itu sendiri
multikompleks, dinamis, dan berkaitan dengan ruang, waktu serta tempat dimana
kemiskinan dilihat dari berbagai sudut pandang. Kemiskinan dibagi dalam dua
kriteria yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan realtif . Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang diukur dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sedangkan kemiskinan realtif adalah
penduduk yang telah memiliki pendapatan sudah mencapai kebutuhan dasar
namun jauh lebih rendah dibanding keadaan masyrakat sekitarnya. Kemiskinan
menurut tingkatan kemiskinan adalah kemiskinan sementara dan kemiskinan
kronis.
Kemiskinan sementara yaitu kemiskinan yang terjadi sebabnya adanya bencana
alam dan kemiskinan kronis yaitu kemiskinan yang terjadi pada mereka yang
kekurangan keterampilan, aset, dan stamina (Aisyah, 2001:151). Penyebab
kemiskinan menurut Kuncoro (2000: 107) sebagai berikut:
1. Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola
kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan timpang,
penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah yang terbatas
dan kualitasnya rendah.
2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia karena
kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktifitas juga rendah,
upahnya pun rendah.
3. Kemiskinan muncul sebab perbedaan akses dan modal.
Ketiga penyebab kemiskinan itu bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan
(vicious circle of poverty) akibat adanya keterbelakangan , ketidaksempurnaan
pasar, kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima.
Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan
investasi, rendahnya investasi akan berakibat pada keterbelakangan dan
seterusnya. Logika berpikir yang dikemukakan Nurkse yang dikutip Kuncoro
(2000:7).
Teori “Lingkaran Setan Kemiskinan”,terjemahan dari “Vicius Sircle Of Poverty”
yaitu konsep yang mengadaikan suatu konstellasi yang melingkar dari daya-daya
yang cenderung beraksi dan beraksi satu sama lain secara demikian rupa
sehingga menempatkan suatu negara miskin terus menerus dalam suasana
kemiskinan. Teori itu menjelaskan sebab-sebab kemiskinan dinegara-negara
sedang berkembang yang umunya baru merdeka dari penjajahan asing. Bertolak
dari teori inilah, kemudian dikembangkan teori-teori ekonomi pembangunan,
yaitu teori yang telah dikembangkan lebih dahulu di Eropa Barat yang menjadi
cara pandang atau paradigma untuk memahami dan memecahkan masalahmasalah
ekonomi di negara-negara sedang berkembang, misalnya India atau
Indonesia.
Pada hasilnya teori itu mengatakan bahwa negara-negara sedang berkembang itu
miskin dan tetap miskin, karena produktivitasnya rendah. Karena rendah
produktivitasnya, maka penghasilan seseorang juga rendah yang hanya cukup
untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya yang minim. Karena itulah mereka
tidak bisa menabung, padahal tabungan adalah sumber utama pembentukan
modal masyarakat sehingga capitalnya tidak efesien (boros). Untuk bisa membangun, maka lingkaran setan itu harus diputus, yaitu pada titik lingkaran
rendahnya produktivitasnya, sebagai sebab awal dan pokok. Untuk memutus
lingkaran setan kemiskinan dari sisi demand yaitu dengan meningkatkan
pendapatnya. Hal ini akan berdampak kepada perimintaan meningkat dan
investasi juga meningkat maka modal menjadi efisien. Dengan demikian
produktifitas dapat meningkat.
2. Macam-macam Kemiskinan
Sumodiningrat (1989:65) mengemukakan bahwa kemiskinan memiliki beberapa
macam yaitu adalah sebagai berikut:
1. Kemiskinan absolut: apabila tingkat pendapatanya di bawah “garis
kemiskinan” atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan,
perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
2. Kemiskinan relatif: kondisi dimana pendapatanya berada pada posisi di atas
garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan
masyrakat sekitarnya.
3. Kemiskinan kultural: karena mengacu kepada persoalan sikap seseorang atau
masyrakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha
untuk memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif,
meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. 4. Kemsikinan struktural: kondisi atau situasi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga
menyebabkan ketimpangan.
3. Garis Kemiskinan
Garis kemiskinan atau batas kemiskinan adalah tingkat minimum pendapatan
yang dianggap perlu dipenuhi untuk memperoleh standar hidup yang mencukupi
di suatau negara. Dalam praktiknya, pemahaman resmi atau umum masyarakat
mengenai garis kemiskinan (dan juga defenisi kemiskinan) lebih tinggi di negara
maju dari pada di negara berkembang (Debraj Ray, 1998:37). Hampir setiap
masyarakat memiliki rakyat hidup dalam kemiskinan. Garis kemiskinan berguna
sebagai perangkat ekonomi yang dapat digunakan untuk mengukur rakyat miskin
dan mempertimbangkan pembaharuan sosio-ekonomi, misalnya seperti program
peningkatan kesejahteraan dan asuransi pengangguran untuk menanggulangi
kemiskinan.
4. Konsep Kemiskinan
Kemiskinan merupakan konsep yang berwayuh wajah, bermatra
multidimensional. Ellis (1984:242-245), misalnya, menunjukkan bahwa dimensi
kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara
ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan
kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasrkan
konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan
persedian sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang
dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut
dengan metode pengukuran kemiskinan absolut.
Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2,100 kalori per orang per hari
yang disertarakan dengan pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia yang
menggunakan 1 dolar AS per orang per hari adalah contoh kemiskinan absolut.
Secara politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power).
Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat
menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan
menggunakan sumberdaya.
Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan
sturtur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan
peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai
kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang
mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatankesempatan
yang ada di masyarakat. Faktor penghambat tersebut secara umum
meliputi faktor internal dan eksternal.
Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya
pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori “kemiskinan budaya” (cultural
poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis, misalnya, menyatakan bahwa
kemiskinan dapat dimuncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan
yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada
nasib, kurang memiliki etos kerja dsb. Sedangkan, faktor eksternal datang dari
luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturanperaturan
resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan
sumberdaya. Kemiskinan model ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan
“ketidakmauan” simiskin untuk bekerja (malas), melainkan karena
ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatankesempatan
yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Konsepsi kemiskinan
yang bersifat multidimensional ini kiranya lebih tepat jika digunakan sebagai
pisau analisis dalam mendefiniskan kemiskinan dan merumuskan kebijakan
penanganan kemiskinan di Indonesia.
Referensi :
Debraj Ray (1998): Development Economics, Princeton University Press. Chapters
16, 17 and 18.