A. Pengertian Hutan
Hutan adalah suatu kumpulan bidang-bidang lahan yang ditumbuhi (memiliki)
atau akan ditumbuhi tumbuhan pohon dan dikelola sebagai satu kesatuan yang
utuh untuk mencapai tujuan pemilik lahan berupa kayu atau hasil-hasil lain yang
berhubungan (persamaan kata untuk hutan adalah: kesatuan kepemilikan,
kesatuan pengelolaan, kesatuan perencanaan). Dalam definisi ini hutan diartikan
sebagai kumpulan dari bidang-bidang lahan yang pada saat tertentu ditumbuhi
pohon-pohon atau tidak dan secara keseluruhan dikelola dalam satu kesatuan
pengelolaan. Bidang-bidang lahan yang dimaksud dalam definisi ini adalah
tegakan yang dalam pengelolaan hutan lebih khusus lagi disebut petak
(compartment). Pada suatu waktu tertentu petak-petak yang terdapat dalam satu kesatuan pengelolaan hutan tanaman, yang dikelola dengan sistem silvikultur
tebang habis, akan memiliki keadaan yang beragam dari mulai tanah kosong atau
terbuka karena baru ditebang, baru ditanami, tumbuhan pohon yang masih remaja,
tumbuhan pohon yang sudah dewasa sampai pohon-pohon tua yang sudah siap
ditebang dan dinamakan tegakan masak tebang. Definisi hutan seperti ini
merupakan definisi operasional untuk hutan yang dikelola dengan tujuan untuk
menghasilkan kayu secara lestari (Davis dan Johnson, 1987 dalam Suhendang,
2002).
B. Hutan Rakyat
Menurut Departemen Kehutanan (1999) hutan berdasarkan status lahannya terdiri
dari hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang tumbuh di atas
tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara, sedangkan hutan hak
adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, luas minimum
0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu lebih dari 50% atau jumlah pohon
minimum 500 batang pada tahun pertama. Hutan hak lazimnya disebut hutan
rakyat. Menurut Hardjosoediro (1980) hutan rakyat atau hutan milik adalah
semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai
oleh pemerintah, dimiliki oleh masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh
manusia, dapat juga terjadi secara alami, dan dapat juga karena upaya rehabilitasi
tanah kritis.
Menurut Jaffar (1993), sasaran pembangunan hutan rakyat adalah lahan milik
dengan kriteria:
1. Areal kritis dengan keadaan lapangan berjurang dan bertebing yang
mempunyai kelerengan lebih dari 30%;
2. Areal kritis yang telah diterlantarkan atau tidak digarap lagi sebagai lahan
pertanian tanaman pangan semusim;
3. Areal kritis yang karena pertimbangan-pertimbangan khusus seperti untuk
perlindungan mata air dan bangunan pengairan perlu dijadikan areal tertutup
dengan tanaman tahunan;
4. Lahan milik rakyat yang karena pertimbangan ekonomi lebih menguntungkan
bila dijadikan hutan rakyat daripada untuk tanaman semusim.
Sedangkan tujuan pembangunan hutan rakyat adalah (Jaffar, 1993):
1. Meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara
optimal dan lestari;
2. Membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat;
3. Membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku
industri serta kayu bakar;
4. Meningkatkan pendapatan masyarakat tani di perdesaan sekaligus
meningkatkan kesejahteraannya;
5. Memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang
berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS.
Hutan rakyat pada umumnya terdapat kombinasi antara tanaman kayu dan
tanaman semusim atau sering juga disebut dengan agroforestri. Agroforestri Menurut Perum Perhutani (1990) pada pedoman agroforestri dalam Program
Perhutanan Sosial, agroforestri diartikan sebagai sistem pengelolaan hutan dengan
menerapkan pola budidaya tanaman hutan yang dikombinasikan dengan tanaman
pertanian, peternakan dan perikanan baik pada saat sama atau berurutan untuk
meningkatkan produksi dan kelestarian hutan. Secara umum agroforestri adalah
manajemen pemanfaatan hutan secara optimal dan lestari, dengan cara
mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan kegiatan pertanian pada unit
pengolahan lahan yang sama dengan memperhatikan kondisi lingkungan fisik,
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang berperan serta.
Agroforestri dalam Program Perhutanan Sosial mempunyai tujuan, yaitu:
a. Keberhasilan pembangunan hutan terutama di daerah-daerah rawan akibat
tekanan sosial ekonomi/tekanan penduduk.
b. Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
c. Meningkatkan peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan dan
kelestarian hutan serta pemeliharaan kualitas lingkungan.
Bentuk agroforestri terbagi dalam:
a. Agrisilviculture, yaitu Penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan
yang masuk untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil tanaman pertanian- kehutanan. b. Silvopastoral, yaitu Sistem pengelolaan untuk menghasilkan kayu dan
menghasilkan ternak.
c. Agrosylvo-Pastoral System, yaitu Sistem pengelolaan lahan hutan secara
bersamaan dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak.
d. Multipurpose Forest Tree Production System, yaitu Sistem pengelolaan dan
penanaman berbagai jenis kayu, tidak hanya hasil kayunya, akan tetapi juga
daun-daun dan buah-buahan yang dapat dipergunakan sebagai bahan untuk
manusia dan ternak.
Pengusahaan hutan rakyat merupakan serangkaian kegiatan usaha yang meliputi
kegiatan produksi, pemanenan, pemasaran/distribusi dan industry pengolahan.
Banyaknya kegiatan usaha tersebut juga berimplikasi pada banyaknya
pihak/tenaga kerja yang bisa ditampung dalam kegiatan pengusahaan hutan rakyat
(Suprapto, 2010).
Menurut Suharjito (2000) ciri pengusahaan hutan rakyat adalah sebagai berikut:
1. Pelaku,
Pelaku usaha hutan rakyat dibedakan menjadi dua yaitu petani dan bukan petani.
Petani hutan rakyat merupakan pelaku utama penghasil hutan rakyat dari miliknya,
sedangkan bukan petani adalah pihak-pihak lain yang terkait dalam usaha hutan
rakyat, seperti : buruh, penyedia jasa tebang, jasa angkutan pihak yang bergerak
dalam pemasaran dan industri pengelola hasil hutan rakyat. 2. Distribusi Lokasi,
Distribusi lokasi hutan rakyat menurut macam pemilikan lahan pada umumnya
pada lahan-lahan kering. Apabila hanya menonjolkan hutan rakyat, maka
distribusinya terdapat pada seluruh macam pemilikan lahan yaitu sawah, ladang
atau tegalan, kebun talun, pekarangan.
3. Teknik Budidaya, Pada umumnya teknik budidaya sudah dikuasai oleh petani hutan rakyat namun
masih sederhana artinya dari penyediaan biji, bibit, penanaman, pemeliharaan,
pemasaran, semua dilakukan secara sederhana. Jenis-jenis yang ditanam ada yang
jenis cepat tumbuh dan lambat tumbuh, tetapi keduanya telah memiliki pasar
seperti sengon, jati, dan lain-lain.
4. Skala Usaha dan Pendapatan Hutan Rakyat, Sesuai dengan sumber daya lahan yang dimiliki petani hutan rakyat, setiap petani
belum bisa dikatakan memiliki usaha hutan rakyat dengan prinsip dan kelestarian
yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan sedikitnya jumlah pohon yang dimiliki
serta penentuan daur yang tak menentu.
5. Peran Petani Dalam Usaha Hutan Rakyat, Pihak-pihak yang terlibat dalam sistem hutan rakyat adalah petani, tengkulak kayu,
industri kecil, dan industri besar. Pada rantai usaha, lembaga selain petani bersifat
lebih solit dalam arti lebih memiliki perencanaan usaha yang lebih baik, karena
mereka memiliki posisi tawar yang lebih kuat.
Menurut Zain (1998) dalam kegiatan pengusahaan hutan rakyat, dihadapkan pada
beberapa kendala, diantaranya adalah :
a. Ketentuan batas pemilikan tanah.
b. Ketersediaan sarana dan prasarana pengusahaan hutan.
c. Tingkat kemampuan teknis pengelolaan belum dimiliki.
d. Keterbatasan daya pemasaran produk hasil hutan.
e. Jangka waktu untuk memperoleh hasil hutan rakyat cukup lama. Antara
penanaman dan pengelola/eksploitasi diperlukan waktu 15-20 tahun.
C. Silvikultur Hutan Rakyat
Menurut Pramono dkk (2010) silvikultur mempunyai beberapa arti yaitu:
a. Ilmu dan seni dalam budidaya tanaman hutan yang didasarkan pada
pengetahuan tentang pohon hutan.
b. Kegiatan yang berkenaan dengan pembangunan, pengaturan pertumbuhan,
susunan jenis tanaman, dan kualitas tegakan hutan.
Kegiatan silvikultur berkaitan dengan nilai jual pohon. Nilai jual pohon
ditentukan oleh kualitas pohon yang dicirikan dengan: ukuran dan kelurusan
batang, tinggi batang bebas cabang, kelurusan serat kayu, dan ada tidaknya cacat
kayu. Perlakuan silvikultur yang tepat akan mampu meningkatkan mutu pohon
sehingga meningkatkan nilai jualnya, misalnya:
a. Penggunaan bibit unggul akan menghasilkan pohon yang tumbuh cepat dan
berbatang lurus.
b. Pemangkasan cabang (pruning) pada saat pohon berumur muda akan
menghasilkan batang tanpa cacat mata kayu, dan batang bebas cabang tinggi c. Penjarangan (thinning) akan mengurangi persaingan antara pohon dalam
memperoleh makanan (hara) dari tanah dan cahaya, sehingga mempercepat
pertumbuhan diameter batang.
d. Pemupukan pada tanaman akan mempercepat pertumbuhan sehingga
menghasilkan kayu yang berukuran besar.
e. Pengendalian hama dan penyakit akan menjamin pohon tumbuh sehat dan
normal sehingga menghasilkan kayu yang berukuran besar dan bebas dari cacat
(Pramono dkk, 2010).
Silvikultur berkenaan dengan kontrol pembentukan, pertumbuhan, komposisi, dan
kualitas vegetasi hutan. Hal ini hanya dapat dilakukan pada setiap hutan yang
berlokasi tertentu, bila tersedia tujuan pengelolaan yang jelas dan tegas, yang
melukiskan apa yang akan dicapai. Pemilihan perlakuan silvikultur selalu
dikendala oleh pertimbangan-pertimbangan ekologis, pengelolaan dan sosial.
Kendala tersebut adalah:
1. Kendala Ekologis
a. Kualitas tempat tumbuh: Kualitas tempat tumbuh alami atau potensi
produktivitas merupakan faktor yang dominan. Kesuburan tanah; kedalaman
tanah; ketinggian; arah kelerengan dan kelerengan; dan faktor-faktor tempat
tumbuh lain berpengaruh kuat terhadap kisaran tindakan silvikultur. Pada
umumnya, semakin produktif tempat tumbuh, semakin banyak perlakuan yang
dapat dipertimbangkan. b. Vegetasi yang ada: Sifat agregasi vegetasi yang telah ada pada setiap tegakan
harus diperhitungkan dan dijadikan modal. Terdapatnya genotip tertentu dan
ciri-ciri fisiologis relatifnya mempengaruhi pemilihan perlakuan silvikultur.
c. Lingkungan mikro: Karena pertumbuhan tanaman dipengaruhi dengan kuat
oleh lingkungan, lingkungan mikro yang khusus seperti intensitas cahaya, suhu,
tekanan evaporasi, dan tersedianya kelembaban tanah dalam setiap agregasi
vegetasi yang seragam dalam tegakan, atau dalam setiap tipe tegakan harus
dikenal. Lingkungan mikro ini harus diperhitungkan dalam memilih perlakuan
untuk mempercepat pertumbuhan tanaman yang ada atau menciptakan
permudaan baru.
d. Serangga: Potensi binatang yang ada, serangga, penyakit, atau vegetasi pesaing
hendaknya dievaluasi dan dimasukkan dalam pedoman tindakan silvikultur.
2. Kendala Pengelolaan
a. Teknis: ini termasuk faktor-faktor seperti persyaratan operasional atau
pembatasan peralatan tertentu, persyaratan rencana pengelolaan yang bisa
membatasi etat tebangan atau menetapkan prosedur tertentu, dan
pertimbangan-pertimbangan ekonomis.
b. Kebijaksanaan: kegiatan–kegiatan dapat dikendala oleh keputusan
kebijaksanaan yang mengatur praktek-praktek tertentu pada areal yang
berdekatan dengan jalan-jalan raya, yaitu, areal-areal yang tampak penting atau
praktek-praktek lain seperti kebijaksanaan Dinas Kehutanan terhadap
pengelolaan tegakan seumur.
3. Kendala Sosial
a. Perundangan: Ini mungkin pada tingkat federal, seperti Undang-Undang
Pengelolaan Hutan Nasional tahun 1976 yang mengatur pengelolaan lahan
negara; tingkat negara bagian, seperti perundangan praktek kehutanan negara
bagian, ketentuan perikanan dan perburuan, kontrol polusi, dan terutama
perpajakan; atau tingkat lokal seperti ordonansi daerah yang menetapkan
ketentuan pokok bagi praktek kehutanan pada suatu daerah.
b. Tekanan Sosial: Ini berkembang melalui aktifitas kelompok-kelompok
konservasi, tempat perburuan, kelompok-kelompok rekreasi, pembangunan
rumah istirahat musim panas, dan aktifis-aktifis yang berkaitan (Marsono,
1992).
Silvikultur hutan rakyat ditetapkan sesuai dengan kondisi setempat sehingga
kelestarian usaha perhutanan rakyat dapat terjamin. Menurut Departemen
Kehutanan (1996), berdasarkan silvikulturnya hutan rakyat terbagi menjadi dua
pola yaitu :
1. Pola hutan rakyat murni yaitu hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman
kayu-kayuan (monokultur) , atau lebih dari satu jenis tanaman kayu-kayuan
(polikultur).
2. Pola hutan rakyat campuran yaitu hutan rakyat yang terdiri dari tanaman kayu- kayuan (tanaman kehutanan) dan juga tanaman pertanian (tanaman pangan,
tanaman hortikultura, tanaman obat, pakan ternak, perkebunan), guna
memberikan hasil dalam waktu pendek dan berkesinambungan.
Referensi :
- Departemen Kehutanan. 1999. Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Salinan Kepala Biro Hukum dan Organisasi. Dephutbun. Jakarta.
- Marsono, D. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
- Pramono, A.A., Fauzi, M.A., Widyani, N., Heriansyah, I. dan Roshetko, J.M. 2010. Pengelolaan Hutan Jati Rakyat: Panduan Lapangan Untuk Petani. CIFOR, Bogor, Indonesia.
- Zain. A. S. 1998. Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Rineka Cipta. Jakarta.
- Jaffar, E.R. 1993. Pola Pengembangan Hutan Rakyat Sebagai Upaya Peningkatan Luasan Hutan dan Peningkatan Pendapatan Masyarakat di Propinsi DIY. Makalah pada Pertemuan Persaki Propinsi DIY tanggal 17 Juli 1993, Yogyakarta.
- Hardjosoediro, S. 1980. Pemilihan Jenis Tanaman Reboisasi dan Penghijauan Hutan Alam dan Hutan Rakyat. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
- Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan (YPFK). Kampus Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Jawa Barat. Indonesia.