Tinjauan Pustaka tentang Hutan Rakyat

A. Pengertian Hutan 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Definisi di atas menekankan kepada fungsi ekologis hutan sebagai kesatuan ekosistem dan wujud biofisik hutan berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya. 

Hutan adalah suatu kumpulan bidang-bidang lahan yang ditumbuhi (memiliki) atau akan ditumbuhi tumbuhan pohon dan dikelola sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan pemilik lahan berupa kayu atau hasil-hasil lain yang berhubungan (persamaan kata untuk hutan adalah: kesatuan kepemilikan, kesatuan pengelolaan, kesatuan perencanaan). Dalam definisi ini hutan diartikan sebagai kumpulan dari bidang-bidang lahan yang pada saat tertentu ditumbuhi pohon-pohon atau tidak dan secara keseluruhan dikelola dalam satu kesatuan pengelolaan. Bidang-bidang lahan yang dimaksud dalam definisi ini adalah tegakan yang dalam pengelolaan hutan lebih khusus lagi disebut petak (compartment). Pada suatu waktu tertentu petak-petak yang terdapat dalam satu kesatuan pengelolaan hutan tanaman, yang dikelola dengan sistem silvikultur tebang habis, akan memiliki keadaan yang beragam dari mulai tanah kosong atau terbuka karena baru ditebang, baru ditanami, tumbuhan pohon yang masih remaja, tumbuhan pohon yang sudah dewasa sampai pohon-pohon tua yang sudah siap ditebang dan dinamakan tegakan masak tebang. Definisi hutan seperti ini merupakan definisi operasional untuk hutan yang dikelola dengan tujuan untuk menghasilkan kayu secara lestari (Davis dan Johnson, 1987 dalam Suhendang, 2002).

B. Hutan Rakyat 

Menurut Departemen Kehutanan (1999) hutan berdasarkan status lahannya terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara, sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu lebih dari 50% atau jumlah pohon minimum 500 batang pada tahun pertama. Hutan hak lazimnya disebut hutan rakyat. Menurut Hardjosoediro (1980) hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, dimiliki oleh masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat juga terjadi secara alami, dan dapat juga karena upaya rehabilitasi tanah kritis.

Menurut Jaffar (1993), sasaran pembangunan hutan rakyat adalah lahan milik dengan kriteria: 1. Areal kritis dengan keadaan lapangan berjurang dan bertebing yang mempunyai kelerengan lebih dari 30%; 2. Areal kritis yang telah diterlantarkan atau tidak digarap lagi sebagai lahan pertanian tanaman pangan semusim; 3. Areal kritis yang karena pertimbangan-pertimbangan khusus seperti untuk perlindungan mata air dan bangunan pengairan perlu dijadikan areal tertutup dengan tanaman tahunan; 4. Lahan milik rakyat yang karena pertimbangan ekonomi lebih menguntungkan bila dijadikan hutan rakyat daripada untuk tanaman semusim. 

Sedangkan tujuan pembangunan hutan rakyat adalah (Jaffar, 1993): 1. Meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari; 2. Membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat; 3. Membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku industri serta kayu bakar; 4. Meningkatkan pendapatan masyarakat tani di perdesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya; 5. Memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS. 

Hutan rakyat pada umumnya terdapat kombinasi antara tanaman kayu dan tanaman semusim atau sering juga disebut dengan agroforestri. Agroforestri Menurut Perum Perhutani (1990) pada pedoman agroforestri dalam Program Perhutanan Sosial, agroforestri diartikan sebagai sistem pengelolaan hutan dengan menerapkan pola budidaya tanaman hutan yang dikombinasikan dengan tanaman pertanian, peternakan dan perikanan baik pada saat sama atau berurutan untuk meningkatkan produksi dan kelestarian hutan. Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan hutan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan kegiatan pertanian pada unit pengolahan lahan yang sama dengan memperhatikan kondisi lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang berperan serta. 

Agroforestri dalam Program Perhutanan Sosial mempunyai tujuan, yaitu: a. Keberhasilan pembangunan hutan terutama di daerah-daerah rawan akibat tekanan sosial ekonomi/tekanan penduduk. b. Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. c. Meningkatkan peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan dan kelestarian hutan serta pemeliharaan kualitas lingkungan. 

Bentuk agroforestri terbagi dalam: a. Agrisilviculture, yaitu Penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masuk untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil tanaman pertanian- kehutanan. b. Silvopastoral, yaitu Sistem pengelolaan untuk menghasilkan kayu dan menghasilkan ternak. c. Agrosylvo-Pastoral System, yaitu Sistem pengelolaan lahan hutan secara bersamaan dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak. d. Multipurpose Forest Tree Production System, yaitu Sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu, tidak hanya hasil kayunya, akan tetapi juga daun-daun dan buah-buahan yang dapat dipergunakan sebagai bahan untuk manusia dan ternak. 

Pengusahaan hutan rakyat merupakan serangkaian kegiatan usaha yang meliputi kegiatan produksi, pemanenan, pemasaran/distribusi dan industry pengolahan. Banyaknya kegiatan usaha tersebut juga berimplikasi pada banyaknya pihak/tenaga kerja yang bisa ditampung dalam kegiatan pengusahaan hutan rakyat (Suprapto, 2010). 

Menurut Suharjito (2000) ciri pengusahaan hutan rakyat adalah sebagai berikut: 1. Pelaku, Pelaku usaha hutan rakyat dibedakan menjadi dua yaitu petani dan bukan petani. Petani hutan rakyat merupakan pelaku utama penghasil hutan rakyat dari miliknya, sedangkan bukan petani adalah pihak-pihak lain yang terkait dalam usaha hutan rakyat, seperti : buruh, penyedia jasa tebang, jasa angkutan pihak yang bergerak dalam pemasaran dan industri pengelola hasil hutan rakyat. 2. Distribusi Lokasi, Distribusi lokasi hutan rakyat menurut macam pemilikan lahan pada umumnya pada lahan-lahan kering. Apabila hanya menonjolkan hutan rakyat, maka distribusinya terdapat pada seluruh macam pemilikan lahan yaitu sawah, ladang atau tegalan, kebun talun, pekarangan. 3. Teknik Budidaya, Pada umumnya teknik budidaya sudah dikuasai oleh petani hutan rakyat namun masih sederhana artinya dari penyediaan biji, bibit, penanaman, pemeliharaan, pemasaran, semua dilakukan secara sederhana. Jenis-jenis yang ditanam ada yang jenis cepat tumbuh dan lambat tumbuh, tetapi keduanya telah memiliki pasar seperti sengon, jati, dan lain-lain. 4. Skala Usaha dan Pendapatan Hutan Rakyat, Sesuai dengan sumber daya lahan yang dimiliki petani hutan rakyat, setiap petani belum bisa dikatakan memiliki usaha hutan rakyat dengan prinsip dan kelestarian yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan sedikitnya jumlah pohon yang dimiliki serta penentuan daur yang tak menentu. 5. Peran Petani Dalam Usaha Hutan Rakyat, Pihak-pihak yang terlibat dalam sistem hutan rakyat adalah petani, tengkulak kayu, industri kecil, dan industri besar. Pada rantai usaha, lembaga selain petani bersifat lebih solit dalam arti lebih memiliki perencanaan usaha yang lebih baik, karena mereka memiliki posisi tawar yang lebih kuat. 

Menurut Zain (1998) dalam kegiatan pengusahaan hutan rakyat, dihadapkan pada beberapa kendala, diantaranya adalah : a. Ketentuan batas pemilikan tanah. b. Ketersediaan sarana dan prasarana pengusahaan hutan. c. Tingkat kemampuan teknis pengelolaan belum dimiliki. d. Keterbatasan daya pemasaran produk hasil hutan. e. Jangka waktu untuk memperoleh hasil hutan rakyat cukup lama. Antara penanaman dan pengelola/eksploitasi diperlukan waktu 15-20 tahun. 

C. Silvikultur Hutan Rakyat 

Menurut Pramono dkk (2010) silvikultur mempunyai beberapa arti yaitu: a. Ilmu dan seni dalam budidaya tanaman hutan yang didasarkan pada pengetahuan tentang pohon hutan. b. Kegiatan yang berkenaan dengan pembangunan, pengaturan pertumbuhan, susunan jenis tanaman, dan kualitas tegakan hutan. Kegiatan silvikultur berkaitan dengan nilai jual pohon. Nilai jual pohon ditentukan oleh kualitas pohon yang dicirikan dengan: ukuran dan kelurusan batang, tinggi batang bebas cabang, kelurusan serat kayu, dan ada tidaknya cacat kayu. Perlakuan silvikultur yang tepat akan mampu meningkatkan mutu pohon sehingga meningkatkan nilai jualnya, misalnya: a. Penggunaan bibit unggul akan menghasilkan pohon yang tumbuh cepat dan berbatang lurus. b. Pemangkasan cabang (pruning) pada saat pohon berumur muda akan menghasilkan batang tanpa cacat mata kayu, dan batang bebas cabang tinggi c. Penjarangan (thinning) akan mengurangi persaingan antara pohon dalam memperoleh makanan (hara) dari tanah dan cahaya, sehingga mempercepat pertumbuhan diameter batang. d. Pemupukan pada tanaman akan mempercepat pertumbuhan sehingga menghasilkan kayu yang berukuran besar. e. Pengendalian hama dan penyakit akan menjamin pohon tumbuh sehat dan normal sehingga menghasilkan kayu yang berukuran besar dan bebas dari cacat (Pramono dkk, 2010).

Silvikultur berkenaan dengan kontrol pembentukan, pertumbuhan, komposisi, dan kualitas vegetasi hutan. Hal ini hanya dapat dilakukan pada setiap hutan yang berlokasi tertentu, bila tersedia tujuan pengelolaan yang jelas dan tegas, yang melukiskan apa yang akan dicapai. Pemilihan perlakuan silvikultur selalu dikendala oleh pertimbangan-pertimbangan ekologis, pengelolaan dan sosial. Kendala tersebut adalah: 

1. Kendala Ekologis

a. Kualitas tempat tumbuh: Kualitas tempat tumbuh alami atau potensi produktivitas merupakan faktor yang dominan. Kesuburan tanah; kedalaman tanah; ketinggian; arah kelerengan dan kelerengan; dan faktor-faktor tempat tumbuh lain berpengaruh kuat terhadap kisaran tindakan silvikultur. Pada umumnya, semakin produktif tempat tumbuh, semakin banyak perlakuan yang dapat dipertimbangkan. b. Vegetasi yang ada: Sifat agregasi vegetasi yang telah ada pada setiap tegakan harus diperhitungkan dan dijadikan modal. Terdapatnya genotip tertentu dan ciri-ciri fisiologis relatifnya mempengaruhi pemilihan perlakuan silvikultur. c. Lingkungan mikro: Karena pertumbuhan tanaman dipengaruhi dengan kuat oleh lingkungan, lingkungan mikro yang khusus seperti intensitas cahaya, suhu, tekanan evaporasi, dan tersedianya kelembaban tanah dalam setiap agregasi vegetasi yang seragam dalam tegakan, atau dalam setiap tipe tegakan harus dikenal. Lingkungan mikro ini harus diperhitungkan dalam memilih perlakuan untuk mempercepat pertumbuhan tanaman yang ada atau menciptakan permudaan baru. d. Serangga: Potensi binatang yang ada, serangga, penyakit, atau vegetasi pesaing hendaknya dievaluasi dan dimasukkan dalam pedoman tindakan silvikultur. 

2. Kendala Pengelolaan 

a. Teknis: ini termasuk faktor-faktor seperti persyaratan operasional atau pembatasan peralatan tertentu, persyaratan rencana pengelolaan yang bisa membatasi etat tebangan atau menetapkan prosedur tertentu, dan pertimbangan-pertimbangan ekonomis. b. Kebijaksanaan: kegiatan–kegiatan dapat dikendala oleh keputusan kebijaksanaan yang mengatur praktek-praktek tertentu pada areal yang berdekatan dengan jalan-jalan raya, yaitu, areal-areal yang tampak penting atau praktek-praktek lain seperti kebijaksanaan Dinas Kehutanan terhadap pengelolaan tegakan seumur. 

3. Kendala Sosial

a. Perundangan: Ini mungkin pada tingkat federal, seperti Undang-Undang Pengelolaan Hutan Nasional tahun 1976 yang mengatur pengelolaan lahan negara; tingkat negara bagian, seperti perundangan praktek kehutanan negara bagian, ketentuan perikanan dan perburuan, kontrol polusi, dan terutama perpajakan; atau tingkat lokal seperti ordonansi daerah yang menetapkan ketentuan pokok bagi praktek kehutanan pada suatu daerah. b. Tekanan Sosial: Ini berkembang melalui aktifitas kelompok-kelompok konservasi, tempat perburuan, kelompok-kelompok rekreasi, pembangunan rumah istirahat musim panas, dan aktifis-aktifis yang berkaitan (Marsono, 1992). 

Silvikultur hutan rakyat ditetapkan sesuai dengan kondisi setempat sehingga kelestarian usaha perhutanan rakyat dapat terjamin. Menurut Departemen Kehutanan (1996), berdasarkan silvikulturnya hutan rakyat terbagi menjadi dua pola yaitu : 1. Pola hutan rakyat murni yaitu hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman kayu-kayuan (monokultur) , atau lebih dari satu jenis tanaman kayu-kayuan (polikultur). 2. Pola hutan rakyat campuran yaitu hutan rakyat yang terdiri dari tanaman kayu- kayuan (tanaman kehutanan) dan juga tanaman pertanian (tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman obat, pakan ternak, perkebunan), guna memberikan hasil dalam waktu pendek dan berkesinambungan.

Referensi :
  1. Departemen Kehutanan. 1999. Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Salinan Kepala Biro Hukum dan Organisasi. Dephutbun. Jakarta.
  2. Marsono, D. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
  3. Pramono, A.A., Fauzi, M.A., Widyani, N., Heriansyah, I. dan Roshetko, J.M. 2010. Pengelolaan Hutan Jati Rakyat: Panduan Lapangan Untuk Petani. CIFOR, Bogor, Indonesia.
  4. Zain. A. S. 1998. Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Rineka Cipta. Jakarta.
  5. Jaffar, E.R. 1993. Pola Pengembangan Hutan Rakyat Sebagai Upaya Peningkatan Luasan Hutan dan Peningkatan Pendapatan Masyarakat di Propinsi DIY. Makalah pada Pertemuan Persaki Propinsi DIY tanggal 17 Juli 1993, Yogyakarta.
  6. Hardjosoediro, S. 1980. Pemilihan Jenis Tanaman Reboisasi dan Penghijauan Hutan Alam dan Hutan Rakyat. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. 
  7. Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan (YPFK). Kampus Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Jawa Barat. Indonesia.