1. Pengertian Assertive Training
Assertive training merupakan salah satu teknik dalam terapi behavioral.
Menurut Willis (2004) terapi behavioral berasal dari dua arah konsep yakni
Pavlovian dari Ivan Pavlov dan skinerian dari B.F Skinner. Mula-mula terapi
ini dikemabangkan oleh Wolpe untuk menanggulangi neurosis. Neurosis
dapat dijelaskan dengan mempelajari perilaku yang tidak adaptif melalui
proses belajar. Dengan kata lain perilaku yang menyimpang bersumber dari
hasil belajar di lingkungan.
Willis (2004) menjelaskan bahwa assertive training merupakan teknik dalam
konseling behavioral yang menitikberatkan pada kasus yang mengalami
kesulitan dalam perasaan yang tidak sesuai dalam menyatakannya. Assertive
Training adalah suatu teknik untuk membantu klien dalam hal-hal berikut:
a. Tidak dapat menyatakan kemarahan atau kejengkelannya;
b. Mereka yang sopan berlebihan dan membiarkan orang lain mengambil
keuntungan padanya;
c. Mereka yang mengalami kesulitan berkata “tidak”;
d. Mereka yang sukar menyatakan cinta dan respon positif lainnya;
e. Mereka yang merasakan tidak punya hak untuk menyatakan pendapat
dan pikirannya
Selain itu Gunarsih (2007) dalam bukunya Konseling dan Psikoterapi
menjelaskan pengertian latihan asertif yaitu prosedur latihan yang diberikan
kepada klien untuk melatih perilaku penyesuaian sosial melalui ekspresi diri
dari perasaan, sikap, harapan, pendapat, dan haknya.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
assertive training atau latihan asertif adalah prosedur latihan yang diberikan untuk membantu peningkatan kepercayaan diri dalam mengkomunikasikan
apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan pada orang lain namun tetap
menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain.
2. Perilaku Asertif
Perilaku asertif merupakan terjemahan dari istilah assertiveness atau
assertion, yang artinya titik tengah antara perilaku non asertif dan perilaku
agresif. Frensterhim dan Baer, mengatakan bahwa orang yang memiliki
tingkah laku atau perilaku asertif orang yang berpendapat dari orientasi dari
dalam, memiliki kepercayan diri yang baik, dapat mengungkapkan pendapat
dan ekspresi yang sebenarnya tanpa rasa takut dan berkomunikasi dengan
orang lain secara lancar. Sebaliknya orang yang kurang asertif adalah mereka
yang memiliki ciri terlalu mudah mengalah atau lemah, mudah tersinggung,
cemas, kurang yakin pada diri sendiri, sukar mengadakan komunikasi dengan
orang lain, dan tidak bebas mengemukakan masalah atau hal yang telah
dikemukakan.
Nelson dan Jones (2006) menjelaskan bahwa perilaku asertif adalah perilaku
yang merefleksikan rasa percaya diri dan menghormati diri sendiri dan orang
lain. hal ini sejalan dengan pengertian perilaku asertif yang dikemukakan oleh
Alberti dan Emmons, yaitu perilaku asertif meningkatkan kesetaraan dalam
hubungan sesama manusia, yang memungkinkan kita untuk menunjukkan
minat terbaik kita, berdiri sendiri tanpa hatrus merasa cemas,
mengeekspresikan perasaan kita dengan jujur dan nyaman, melatih
kepribadian kita yang sesungguhnya tanpa menolak kebenaran dari orang
lain.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif
adalah perilaku sesesorang dalam hubungan antar pribadi yang menyangkut,
emosi, perasaan, pikiran serta keinginan dan kebutuhan secara terbuka, tegas
dan jujur tanpa perasaan cemas atau tegang terhadap orang lain, tanpa
merugikan diri sendiri dan orang lain.
3. Tujuan Assertive Training
Teknik assertive training dalam pelaksanaannya tentu memiliki beberapa
tujuan yang ingin dicapai oleh konselor dan klien. Day (2008) menjelaskan
bahwa assertive training membantu klien belajar kemandirian sosial yang
diperlukan untuk mengekspresikan diri mereka dengan tepat.
Sedangkan menurut Corey (2009) terdapat beberapa tujuan assertive training
yaitu :
a. Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam suatu cara
sehingga memantulkan kepekaan kepada perasaan dan hak-hak orang
lain;
b. Meningkatkan keterampilan behavioralnya sehingga mereka bisa
menentukan pilihan apakah pada situasi tertentu perlu berperilaku seperti
apa yang diinginkan atau tidak;
c. Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri dengan cara
sedemikian rupa sehingga terefleksi kepekaanya terhadap perasaan dan
hak orang lain;
d. Meningkatkan kemampuan individu untuk menyatakan dan
mengekspresikan dirinya dengan enak dalam berbagai situasi sosial; e. Menghindari kesalahpahaman dari pihak lawan komunikasi.
Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan latihan
assertif adalah untuk melatih individu mengungkapkan dirinya,
mengemukakan apa yang dirasakan dan menyesuaikan diri dalam
berinteraksi sehingga dapat menghindari terjadinya kesalahpahaman
dalam berkomunikasi.
4. Manfaat Assertive Training
Menurut pendapat Corey (2009), manfaat latihan asertif yaitu membantu bagi
orang-orang yang:
a. tidak mampu mengungkapkan kemarahan dan perasaan tersinggung;
b. menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang
lain untuk mendahuluinya ;
c. memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”;
d. mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon
positif lainnya merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan
dan pikiran-pikiran sendiri.
Berdasarkan pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa manfaat
latihan asertif adalah membantu peningkatan kemampuan
mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan pada
orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan
orang lain.
5. Tahapan Pelaksanaan Assertive Training
Pelaksanaan assertive training memiliki beberapa tahapan atau prosedur yang
akan dilalui ketika pelaksanaan latihan. Pada umumnya teknik untuk melakukan latihan asertif, mendasarkan pada prosedur belajar dalam diri
seseorang yang perlu diubah, diperbaiki dan diperbarui. Masters (Gunarsih,
2007) meringkas beberapa jenis prosedur latihan asertif, yakni:
1. Identifikasi terhadap keadaan khusus yang menimbulkan persoalan pada
pasien atau klien.
2. Memeriksa apa yang dilakukan atau dipikirkan pasien atau klien pada
situasi tersebut.
3. Dipilih sesuatu situasi khusus di mana pasien atau klien melakukan
permainan peran (role play) sesuai dengan apa yang ia perlihatkan.
4. Terapis memberikan umpan balik secara verbal, menekankan hal yang
positif dan menunjukkan hal-hal yang tidak sesuai ( tidak cocok,
inadekuat) dengan sikap yang baik dan dengan cara yang tidak
menghukum atau menyalahkan.
5. Terapis memperlihatkan model perilaku yang lebih diinginkan, pada
pasien atau klien menerima model perilaku jika sesuai ( terjadi
pergantian peran).
6. Terapis membimbing, menjelaskan hal-hal yang mendasari perilaku yang
diinginkan.
7. Selama berlangsung proses peniruan, terapis meyakinkan pernyataan
dirinya yang positif yang diikuti oleh perilaku.
8. Pasien atau klien kemudian berusaha untuk mengulangi respon tersebut.
9. Terapis menghargai perkembangan yang terjadi pada pasien atau klien
dengan strategi “pembentukan”(shaping) atau dukungan tertentu yang
menyertai pebentukan respon baru (Langkah nomor lima, enam, tujuh dan delapan, diulang sampai terapis
dan pasien atau klien puas terhadap respon-responnya yang setidaknya
sudah berkurang ansietasnya dan tidak membuat pernyataan diri(selfsentiment)
yang negatif.)
10. Sekali pasien atau klien dapat menguasai keadaan sebelumnya
menimbulkan sedikit ansietas, terapis melangkah maju ke hierarki yang
lebih tinggi dari keadaannya yang menjadi persoalan.
11. Kalau interaksinya terjadi dalam jangka waktu lama, harus dipecah
menjadi beberapa bagian yang diatur waktunya. Selanjutnya terapis
bersama pasien atau klien menyusun kembali urutan keseluruhannya
secara lengkap.
12. Diantara waktu-waktu pertemuan, terapis menyuruh pasien atau klien
melatih dalam imajinasinya, respon yang cocok pada beberapa keadaan.
Kepada mereka juga diminta menyertakan pernyataan diri yang terjadi
selama melakukan imajinasi. Hasil apa yang dilakukan pasien atau klien,
dibicarakan pada pertemuan berikutnya.
13. Pada saat pasien atau klien memperlihatkan ekspresi yang cocok dari
perasaan-perasaannya yang negatif, terapis menyuruhnya melakukan
dengan respon yang paling ringan. Selanjutnya pasien atau klien harus
memberikan respons yang kuat kalau respon tidak efektif.
14. Terapis harus menentukan apakah pasien atau klien sudah mampu
memberikan respon yang sesuai dari dirinya sendiri secara efektif
terhadap keadaan baru, baik dari laporan langsung yang diberikan
maupun dari keterangan orang lain yang mengetahui keadaan pasien atau
klien.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa assertive training
merupakan terapi perilaku yang dirancang untuk mengembangkan
keterampilan-keterampilan individu yang diganggu kecemasan dengan
berbagai teknik yang ada agar individu tersebut dapat memiliki perilaku
asertif yang diinginkan.
Referensi :
- Willis, S. 2004. Konseling Individual teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.
- Gunarsah, S. D. 2007 . Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : Gunung Mulia.
- Nelson, R dan Jones. 2006. Human Relationship Skill. New York: Routledge.
- Corey, G. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama. Day, X S. 2008. Theory and Design in Counseling and Psychotherapy. New York: Lahaska Press.