Intoksikasi Hepar dan Ekstrak Mahkota Dewa

Kerusakan hepar karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis zat kimia yang terlibat, dosis yang diberikan, dan lamanya paparan zat tersebut. Kerusakan hepar dapat terjadi setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Kerusakan dapat berbentuk nekrosis hepatosit, kolestasis, atau timbulnya disfungsi hepar secara perlahan. Radikal bebas merupakan suatu molekul yang sangat reaktif karena mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas sangat reaktif karena kehilangan satu atau lebih elektron yang bermuatan listrik, dan untuk mengembalikan keseimbangannya maka radikal bebas berusaha mendapatkan elektron dari molekul lain atau melepas elektron yang tidak berpasangan tersebut (Amalina, 2009). 

Salah satu radikal bebas adalah senyawa 7,12–dimetilbenz(α)antrasen (DMBA) yang banyak terdapat pada asap rokok, asap kendaraan bermtor, dan asap dapur. DMBA merupakan karsinogen sekunder (prokarsinogen) sehingga harus mengalami aktivasi metabolisme (biotransformasi) untuk menghasilkan karsinogen aktif. Proses metabolisme menghasilkan DMBA menjadi senyawa yang lebih toksik (Gao et al., 2007). Banyaknya paparan radikal bebas yang terdapat di lingkungan sehingga sangat besar kemungkinan radikal bebas tersebut berikatan dengan sel di dalam tubuh. DMBA dimetabolisme di hati dan akan menjadi senyawa yang reaktif setelah mengalami metabolisme, hal ini memungkinkan dapat menyebabkan kerusakan hati (Sari, 2008).

Supaya dapat berpotensi sebagai karsinogen, DMBA semestinya dimetabolisme di hepar tikus menjadi metabolit 7–hydoxy–DMBA oleh karena metabolit tersebut yang bersifat reaktif oksidan terhadap DNA sel. Beberapa studi memperlihatkan bahwa senyawa DMBA yang tidak mengalami biotransformasi menjadi 7–hydoxy–DMBA gagal dalam menyebabkan karsinoma (Nair & Varalakshmi, 2011). DMBA menurunkan aktivitas enzim antioksidan yang bersifat kemoprotektif terhadap radikal bebas seperti superoxide dismutase dan katalase pada hepar (Paliwal et al., 2011). Stres oksidatif adalah mekanisme umum yang berkontribusi terhadap inisiasi dan perkembangan kerusakan hati dalam berbagai gangguan hati. Kadar Aspartate Transaminase (AST), Alanine Transaminase (ALT), dan Alkaline Phosphatase (ALP) yang terdapat dalam sel hati merupakan indikasi dari kerusakan hepatoseluler yang ditemukan menurun pada tikus yang diinduksi DMBA (Sharma et a.l, 2012). 

Alur metabolisme DMBA melalui aktivasi enzim P450 menjadi intermediate reaktif yang dapat merusak DNA. Enzim sitokrom P450 CYP1A1 atau CYP1B1 dan enzim mikrosomal hidrolase pada metabolisme fase 1 merubah DMBA menjadi DMBA–3,4–diol–1,2–epoksida (DMBA–DE). DMBA–DE dan senyawa xenobiotic polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) lainnya mengakibatkan pembentukan radikal reaktif yang bersifat destruktif, imunotoksik, dan hepatotoksik (Gao et al., 2007). Aktivasi enzim tersebut dapat dihambat oleh senyawa flavonoid yang terkandung di dalam mahkota dewa (Anshor dkk., 2011).

DMBA menyebabkan transformasi neoplastik melalui kerusakan DNA, akumulasi ROS, dan memediasi inflamasi kronis (Manoharan et al., 2010). Kerusakan DNA menyebabkan pengaktifan onkogen dan atau inaktivasi gen supresi tumor dan berbagai epigenetik yang menyebabkan progresi dari tumor (He & Karin, 2011). DMBA terbukti dapat menginduksi produksi reactive oxygen species (ROS) yang mengakibatkan peroksidasi lipid, kerusakan DNA, dan deplesi dari sel sistem pertahanan antioksidan (Kasolo et al., 2010). Mediator inflamasi kronis yang dihasilkan oleh makrofag yang teraktivasi akibat induksi DMBA dapat mengakibatkan NF-kB teraktivasi (Oktaviana dkk., 2012). NF-kB meregulasi ekspresi gen yang termasuk dalam beberapa proses yang mempunyai peranan penting di dalam perkembangan dan progresi dari kanker, yaitu proliferasi, migrasi, dan apoptosis (Dolcet et al., 2005). 

Inflamasi merupakan suatu proses fisiologis dalam menanggapi kerusakan jaringan akibat infeksi mikroba patogen, iritasi kimia, dan atau luka. Setelah terjadi kerusakan jaringan, sinyal kimia akan menginisiasi dan mempertahankan respon host yang dirancang untuk menyembuhkan jaringan yang rusak. Aktivasi dan migrasi leukosit ke lokasi kerusakan dan faktor pertumbuhan, sitokin, oksigen reaktif, dan nitrogen species diketahui memainkan peran penting dalam respon inflamasi. Proses inflamsi diperlukan untuk menjaga kekebalan tubuh, perbaikan optimal, dan regenerasi setelah cedera (Montano et al., 2011).

Kandungan senyawa aktif yang terdapat pada tanaman mahkota dewa adalah alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, terpenoid, dan steroid. Golongan senyawa dalam tanaman yang berkaitan dengan aktivitas antikanker dan antioksidan antara lain adalah golongan alkaloid, terpenoid, polifenol, flavonoid dan juga senyawa resin (Septiawati, 2008). Beberapa alkaloid yang diisolasi dari tumbuhan alami menunjukkan efek antiproliferasi antimetastasis pada berbagai jenis kanker baik in vitro maupun in vivo (Lu et al., 2012). 

Flavonoid adalah antioksidan yang kuat karena aktivitasnya sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Antioksidan di dalam mahkota dewa mempunyai aktivitas menetralkan radikal bebas sehingga mencegah kerusakan oksidatif pada sebagian besar biomolekul dan menghasilkan proteksi terhadap kerusakan oksidatif secara signifikan (Sreelatha & Padma, 2009). Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif (Waji & Sugrani, 2009).

Referensi :
  1. Waji RA, Sugrani A. 2009. Makalah kimia organik bahan alam flavonoid (quercetin). Makasar: Universitas Hasanuddin. hlm. 8–9.
  2. Lu JJ, Bao JL, Chen XP, Huang M, Wang YT. 2012. Alkaloids isolated from natural herbs as the anticancer agents. Hindawi Publishing Corporation. 10(12): 1-12.
  3. Sreelatha S, Padma PR. 2009. Antioxidant activity and total phenolic content of Moringa oleifera leaves in two stages of maturity. Plant foods for human nutrition. 64(4): 303-11. 
  4. Septiawati T. 2008. Daya hambat ekstrak etanol buah mahkota dewa terhadap aktivitas α-glukosidase secara in vitro. Skripsi. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.
  5. Muljono DH. 2004. Keterlibatan mitokondria pada penyakit hati. Jakarta: Lembaga Biologi Molekul Eijkman. hlm. 145–64.
  6. Dolcet X, Llobet D, Pallares J, Matias GX. 2005. NF-kB in development and progression of human cancer. Virchows Archiv. 446(5): 475–82.
  7. Kasolo JN, Bimeya GS, Ojok L, Ochieng J, Okwal-okeng JW. 2010. Phytochemicals and uses of Moringa oleifera leaves in Ugandan rural communities. Journal of Medical Plant Research. 4(9): 753-7. 
  8. Oktaviana KT. 2012. Pengaruh ekstrak metanol daun kelor (Moringa oleifera) tehadap penghambatan aktivasi NF-kB pada hepar tikus wistar model hepatocellular carcinoma (HCC) yang diinduksi DMBA. Faculty of Medicine Brawijaya University. 2(12): 14-21. 
  9. Amalina N. 2009.Uji toksisitas akut ekstrak valerian (Valeriana officinalis) terhadap hepar mencit BALB/C. Karya tulis ilmiah. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Anshor T, dominius A, Irwanda, Imiawan MI. 2013. Supresi Ekspresi CYP1A1 dan CYP1A2 pada hepatocelluler carcinoma melalui potensi formula herbal terkombinasi Gynura procumbens dan kulit jeruk pontianak (Citrus nobilis var. Microcarpa) sebagai agen kemopreventif keganasan hepar. IMKU. 2(1): 1–11.