Komitmen dan Kepemimpinan di Rumah Sakit

1 Pengertian Komitmen

Mengutip pendapat Kanter (1968) ; Porter dkk, (1974) dalam Trisnantoro, (2005) bahwa komitmen merupakan konsep perilaku perorangan yang sulit didefinisikan. Komitmen menggambarkan kesediaan pelaku sosial. Batasan mengenai komitmen organisasi yang merupakan besarnya kekuatan identifikasi seseorang terhadap sebuah organisasi dan keterlibatan di dalamnya. Komitmen dengan sifat tersebut dipengaruhi sedikitnya oleh tiga faktor yaitu: 1) Kepercayaan kuat terhadap tujuan organisasi dan nilai-nilainya, 2) Kesediaan untuk memberikan tenaganya atas nama organisasi, 3) Keinginan mantap untuk tetap menjadi anggota lembaga.

Menurut Subanegara (2005), komitmen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1) Faktor personal (personal factor), seperti:

a. Usia

Umumnya orang dengan usia lebih muda memiliki katagori yang berbeda. Pada usia 35 tahunan orang akan mulai mencari kebutuhan akan keamanan, kemapanan sedangkan diatas usia 50 tahun mulai mencari kebutuhan aktualisasi diri. Cepat lambatnya akselerasi perpindahan kebutuhan ini sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dari karyawan yang bersangkutan. Perbedaan kebutuhan menyebabkan tingkat komitmen yang berbeda-beda antar satu karyawan dengan karyawan yang lain.

b. Perasaan dan Kecerdasan Emosi

Karyawan dengan kecerdasan emosi tinggi, dimana ia memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosinya, biasanya memiliki komitmen yang tinggi, tidak mudah putus asa dan frustasi menghadapi tekanan yang cukup besar. Sebaliknya dengan karyawan yang kecerdasan emosinya rendah biasanya komitmen juga sangat rendah dan sangat sulit mengendalikan emosi. Umumnya mudah tersinggung, mementingkan diri sendiri dan selalu gelisah berada dalam lingkungan yang ia tempati sekarang. Sehingga akan berakibat keluar dari organisasi ataupun tidak produktif dalam menjalankan tugas-tugasnya.

c. Sifat

Sifat atau kepribadian sebenarnya telah terbentuk dari usia nol tahun sampai tujuh tahun, setelah itu akan menetap sampai dewasa. Akibatnya seringkali terjadi benturan-benturan dalam organisasi yang berkaitan erat dengan nilai dasar seseorang sehingga dapat menimbulkan konflik berkepanjangan.

2) Faktor Organisasi

a. Kepemimpinan

Model kepemimpinan dari pemimpin puncak dan supervisior yang berbasis prinsip tentu akan lebih membangkitkan komitmen dibandingkan kepemimpinan yang bersifat bossy.

b. Iklim Bekerja

Keadaan tempat bekerja, hubungan antar karyawan, kepercayaan kepada sistem, keterbukaan dan sebagainya merupakan bagian dari iklim bekerja yang dapat meningkatkan komitmen.

c. Kompensasi

Kompensasi yang diberikan oleh lembaga untuk karyawannya dapat berupa kompensasi uang atau non uang.

2.  Dimensi Komitmen

Menurut Trisnantoro (2005) dan Subanegara (2005), yang mengutip pendapat Meyer dan Allen bahwa komitmen terdiri dari tiga dimensi, yaitu:

a. Komitmen afektif (Affective Commitment)

Komitmen yang melibatkan perasaan memiliki dan terlibat dalam organisasi. Penyusunan rencana strategis sangat membutuhkan keterlibatan berbagai pihak, antara lain stakeholders kunci dalam perencanaan strategis. Dalam hal ini diperlukan kepercayaan kuat dari SDM terhadap tujuan organisasi dan nilai-nilainya dan memiliki kesediaan untuk memberikan tenaga atas nama organisasi.

b. Komitmen Kontinuans (Continuance Commitment)

Merupakan dimensi komitmen atas dasar biaya yang akan ditanggung oleh karyawan jika meninggalkan organisasi. Pada dimensi ini yang menentukan komitmen adalah faktor rasional bagi pertimbangan untung-rugi yang didapat anggota organisasi.

c. Komitmen Normatif (Normative Commitment)

Komitmen yang melibatkan perasaan karyawan untuk tinggal di sebuah organisasi. Dimensi ini melibatkan dedikasi seseorang untuk tinggal dalam sebuah organisasi.

Berdasarkan berbagai definisi komitmen di atas, pada intinya komitmen merupakan kesetiaan para anggota dan pemimpin terhadap organisasinya. Komitmen merupakan proses yang berkelanjutan dengan para anggota organisasi masing-masing menyumbangkan kontribusi terhadap kemajuan organisasi mereka (Muninjaya, 2005).

Keterlibatan berbagai stakeholders kunci sangat diperlukan untuk perencanaan strategis. Perencanaan dan penyusunan rencana strategis membutuhkan komitmen

dalam bentuk keterlibatan berbagai pihak, dimana problem yang menunjukkan pengembangan rumah sakit sangat tergantung pada komitmen.

Munculnya komitmen ke berbagai lembaga akan mempengaruhi suasana bekerja. Keadaan yang paling sulit adalah mengatur waktu bagi para staf rumah sakit untuk bekerja bersama. Pada prinsipnya komitmen mempengaruhi kenyamanan kerja, meningkatkan produktivitas kerja dan mempertebal rasa memiliki lembaga. Hal-hal ini memberi hasil berupa kinerja rumah sakit yang prima (Trisnantoro, 2005).

3 Komitmen dan Kepemimpinan di Rumah Sakit

Proses penyusunan rencana strategis merupakan usaha untuk memetakan jalan yang akan ditempuh oleh rumah sakit. Kegiatan ini tidak mudah dan membutuhkan pemikiran serta kerja keras seluruh SDM yang ada di rumah sakit, dimana unsur SDM rumah sakit yang terdiri dari berbagai macam profesi. Di samping itu, terdapat catatan mengenai adanya perbedaan antara maksud misi yang diemban rumah sakit dengan keinginan SDMnya. Untuk menyusun rencana strategis dibutuhkan komitmen SDM terhadap organisasi. Hal ini perlu ditekankan karena berbagai kasus menunjukkan bahwa penyusunan rencana strategis di rumah sakit lebih didorong oleh penyelesaian tugas dalam pelatihan atau syarat yang dibutuhkan dalam proses akreditasi rumah sakit. Kenyataan bahwa komitmen SDM mungkin berbeda-beda. Tanpa komitmen, pengaruh rencana strategis terhadap efektifitas organisasi menjadi kurang bermakna. Oleh karena itu, sebelum menyusun rencana strategis perlu diperhatikan pemahaman mengenai komitmen dan pemahaman kepemimpinan (Trisnantoro, 2005).

Rumah sakit mempunyai SDM yang sangat bervariasi, dari variasi pendidikan rendah hingga variasi pendidikan tertinggi dengan pengalaman internasional. Budaya organisasi rumah sakit harus mampu dibentuk untuk menggalang nilai-nilai kerja dan komitmen berbagai SDM di rumah sakit ((Trisnantoro, 2005).
Secara khusus peran pemimpin dalam proses perencanaan strategis di rumah sakit adalah:

  1. Menggerakkan komitmen seluruh kelompok SDM untuk memahami pentingnya perencanaan.
  2. Merencanakan proses perencanaan strategis
  3. Menjadi penanggung jawab utama proses perencanaan strategis termasuk perumusan strategisnya.
  4. Memimpin pelaksanaan rencana strategis termasuk mengkoordinasi pelaksanaan berbagai subsistem di rumah sakit
  5. Melakukan penilaian dan pengendalian kinerja.

Kegagalan pemimpin untuk menggerakkan komitmen perencanaan, akan mempengaruhi proses perencanaan selanjutnya, sehingga menjadi kurang bermakna. Kemampuan direktur menggalang komitmen merupakan hal penting sebelum meneruskan proses perencanaan strategis. Sebuah kasus pada sebuah rumah sakit yang menggambarkan bahwa proses penyusunan rencana strategis yang dibantu oleh seorang konsultan tiba-tiba dihentikan. Hal ini karena konsultan menilai bahwa direktur tidak mampu menggalang komitmen bahkan direktur itu sendiri menjadi bagian dari permasalahan. Untuk menghindari kegagalan penyusunan rencana strategis, proses penyusunan dihentikan untuk menghindari pemborosan waktu dan sumber daya. Oleh konsultan disarankan agar direktur melakukan perbaikan kepemimpinan terlebih dahulu (Trisnantoro, 2005).

Mengingat peranan yang berat seorang pemimpin dalam menyusun rencana strategis dan mengaplikasikan sistem manajemen strategis, diperlukan beberapa persyaratan untuk menjadi pemimpin, yaitu (1) menetapkan arah, (2) memobilisasi komitmen individu, (3) memicu kemampuan organisasi, (4) menunjukkan karakter pribadi.

Refrensi :
  1. Trisnantoro, L., 2005. Manajemen Rumah Sakit. Andi, Yogyakarta.
  2. Muninjaya, A.A Gde., 2004. Manajemen Kesehatan, ECG, Jakata
  3. Subanegara, H., P., 2005. Diamond Head Drill & Kepemimpinan dalam Manajemen Rumah Sakit, Andi, Yogyakarta.